MEMBEDAH ESAI PEMIKIRAN M. AMIN ABDULLAH (Ed.21 2009)

MEMBEDAH ESAI PEMIKIRAN M. AMIN ABDULLAH

Oleh: Husain Insawan

ABSTRAK

M. Amin Abdullah adalah sosok pemikir yang produktif dalam gelanggang cendekiawan muslim Indonesia. M. Amin Abdullah tidak hanya mampu mensintesiskan di antara sekian banyak argumen yang bertentangan, tetapi juga lebih dari itu ia mampu melahirkan sebuah konsep cerdas dan akomodatif, sehingga sebuah konsep dapat menjadi sebuah jawaban atas permasalah yang dimunculkan.

Pemikiran M. Amin Abdullah banyak berkutat pada masalah-masalah Filsafat, Kalam, dan Tasauf karena memang background keilmuannya lebih banyak berkenaan dengan sejumlah mozaik pemikiran Islam tersebut.

Kemenarikan pemikiran M. Amin Abdullah terletak pada metodologi keilmuannya dalam menganalisis dan menyimpulkan suatu konsep, sehingga konsep tersebut terkesan menjadi sangat sederhana dan mudah dimengerti. Untuk mengenal kiprah pemikirannya dalam blantika kehidupan ilmiah, maka tulisan ini mencoba untuk menyajikan esai-esai singkat M. Amin Abdullah yang kemudian akan dibedah secara lebih tajam guna mendapatkan format ideal pemikirannya, sekaligus melihat nilai-nilai keminusannya.

Kata kunci: normativitas, historisitas, akidah, filsafat, teks, dan studi agama

A.  Pendahuluan: Menempatkan Posisi M. Amin Abdullah dalam Gerakan Pembaruan Islam

Fazlurrahman berpandangan bahwa gerakan pembaruan Islam selama dua abad terakhir dibagi empat: Gerakan Revivalis, Modernis, Neo-Revivalis, dan Neo-Modernis.[1]

Gerakan Revivalis[2] yang muncul di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 biasa dikenal dengan tajdid adalah suatu proses yang dengannya komunitas muslim (ummah) menghidupkan kembali kerangka social, moral, dan agama dengan kembali kepada dasar-dasar Islam, yakni al-Quran dan al-Sunnah.[3] Tokoh yang masuk dalam kelompok ini adalah al-Ghazali (w.1111), Ibn Taymiyah (w.1328), Ahmad Sirhindi (w.1624), Syah Wali Allah Dihlawi (w.1762) di India, dan Muhammad Ibn Abdul Wahhab (w.1792) di Arab Saudi, Muhammad Ibn Ali al-Syaukani (w.1834) di Yaman, Sayyid Ahmad dari Rae Bareli di India, Hajj Syariat Allah di Bengal (l.1764), Muhammad Ibn Ali al-Sanusi (w.1859) di Afrika Utara dan Fulaniyah di Afrika Barat. Gerakan Revivalis memusatkan diri pada: a) kepedulian yang sangat terhadap kebobrokan social dan masyarakat muslim, b) seruan untuk kembali ke dalam Islam yang murni dan membuang tahyul yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer, c) usaha-usaha untuk membebaskan diri dari ide kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab fiqhi dan usaha-usaha untuk melaksanakan ijtihad, yaitu memikir ulang secara pribadi mengenai makna risalah yang murni.

Gerakan Modernis yang muncul pada akhir abad ke-19 menyerukan dilakukannya upaya-upaya baru ijtihad, untuk menggali prinsip-prinsip dari al-Quran dan al-Sunnah otentik dan untuk merumuskan hukum-hukum yang diperlukan berdasar pada prinsip-prinsip tersebut. Mereka melihat al-Quran sebagai suatu respon terhadap situasi historis yang meliputi, untuk bagian terbesar ajaran-ajaran moral keagamaan dan social dalam menjawab masalah-masalah tertentu yang dihadapi dalam situasi histories yang nyata. Gerakan Modernis juga menyerukan hal-hal berikut: 1) penggunaan sunnah secara selektif; 2) penerapan pemikiran orisisnil yang sitematis tanpa klaim finalitas; 3) pembedaan yang harus dibuat antara syaiat dan fiqhi; 4) penghindaran terhadap sektarianisme; 5) perujukan kembali kepada metodologi yang khas tetapi tidak melulu kepada fiqhi dan solusi mazhab klasik, baik yang telah punah maupun yang masih ada.[4] Gerakan ini dipelopori di India oleh Sayyid Ahmad Khan (w.1898) dan diseluruh Timur Tengah oleh Jamal al-Din al-Afghani (w.1897) dan di Mesir oleh Muhammad Abduh (w.1905).

Gerakan Neo-Revivalis yang muncul pada paruh pertama abad ke-20 memfokuskan diri pada: a) melawan westernisasi umat Islam; b) membela keserbacukupan; c) Islam sebagai pandangan hidup; d) menolak segala bentuk reinterpretasi al-Quran dan al-Sunnah. Gerakan Neo-Revivalis muncul di Mesir dan anak benua India, yaitu Ikhwan al-Muslimin oleh Hasan al-Banna (w.1949) dan Jama’at al-Islami oleh Abu al-A’la al-Maududi (w.1979). Pengikut mereka adalah Sayyid Quthub (1961), Muh. Quthub (1965), dan Abdul Qadir al-Audah (1967). Fungsi ijtihad menurut Neo-Revivalis adalah untuk menghasilkan solusi-solusi bagi masalah-masalah yang tidak terjawab secara eksplisit oleh al-Quran dan al-Sunnah.[5]

Gerakan Neo-Modernis muncul pada paruh kedua abad ke-20 yang mempunyai sintesis progresif dari rasionalitas modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik. Neo-Modernisme sebagai persyaratan utama bagi renaissance Islam. Fazlurrahman sendiri mengkategorikan dirinya ke dalam wilayah terakhir ini.

Berdasarkan pendekatan tipologi mengenai gerakan pemikiran Islam di atas, maka M. Amin Abdullah berada pada kategori Neo-Modernisme karena ia mencoba memadukan antara pemikiran rasional yang tidak mengenal kata “final” melalui ijtihad akademis dan pemikiran yang dihasilkan oleh mazhab klasik dengan tetap merujuk kepada al-Quran dan al-Sunnah. Namun jika dilihat dari sisi zaman yang mengitarinya, M. Amin Abdullah lebih tepat bila disebut pemikir Millennium Kedua atau pemikir Post-Modernisme.

B.  Esai M. Amin Abdullah dalam Pola Pikir Keagamaan

M. Amin Abdullah membagi pola pikir keagamaan menjadi tiga bagian, yaitu: 1) pola pikir keagamaan Islam yang absolutely-absolute [bersifat taqdis al-afkar, truth claim, ta’abbudi, qat’iyyat, kaku, rigid, bercorak idealistic, serta tidak kenal kompromi, consensus dan negosiasi]; 2) pola pikir keagamaan Islam yang absolute-relative [perilaku agama adalah perilaku social, agama adalah tradisi dan tradisi adalah agama, tidak mengenal dimensi rohaniah-esoterik dan bersifat reduksionistik, sekuler, dehumanis, nihilism, serta ta’aqquly dan zhanniyat permanen]; 3) pola pikir keagamaan Islam yang relative-absolute [ta’aqquli sekaligus ta’abbudi, perpaduan qat’iyyat dan dzanniyat, tasamuh, mementingkan dialog antar umat/keimanan beragama, tidak mendangkalkan akidah serta tidak memandang rendah tradisi dan budaya yang dimiliki orang lain].

Posisi M. Amin Abdullah berada pada pola pikir ketiga yang mensintesiskan atau mendialektika secara timbal balik antara pola pikir absolutely-absolut dan absolute-relative, yakni bersikap militant terhadap keyakinan yang dimiliki tetapi tidak menutup diri dari kritik dan kajian terbaru tentang keberagamaan sepanjang tidak tercerabut dari ruh al-Quran dan al-Sunnah.

C. Esai M. Amin Abdullah dalam Pengembangan Pemikiran Akademik

Dalam hal pengembangan pemikiran akademik tentang Islamic Studies di perguruan tinggi, M. Amin Abdullah mengembangkan Spider Theory/Thariqah al-‘Ankabut (Teori Jaring Laba-Laba). Jaring laba-laba ini merupakan produk dialektis antara normativitas dan historisitas yang dirumuskannya. Namun secara konsepsional M. Amin Abdullah belum merumuskan secara konkrit tentang keilmuan dimaksud, yaitu bagaimana central of spot yang menjadi sumber utama dikembangkan melalui approach and methodology yang tepat pada ring pertama; kemudian keberjalin-kelindanan selanjutnya pada ring kedua, ketiga dan keempat secara timbal balik.

  1. D. Esai M. Amin Abdullah tentang Peran Filsafat

Dalam lapangan ilmu kalam, M. Amin Abdullah sangat gencar mengkampanyekan agar filsafat sebagai “metodologi berpikir” bukan sebagai “isme-isme” mesti digunakan dalam kajian ilmu kalam karena menurutnya [dengan mengutip pernyataan Fazlurrahman] salah satu penyebab tidak berkembangnya ilmu kalam khususnya atau studi keislaman pada umumnya lebih disebabkan dari segi materi maupun metodologi adalah dipisahkannya dan dihindarinya pendekatan filosofis dalam batang tubuh kerangka keilmuan kalam. Menurutnya, disiplin ilmu filsafat dan pendekatan filosofis pada umumnya sangat membantu untuk menerobos kemacetan, bahkan jalan buntu yang dihadapi oleh ilmu-ilmu apapun.[6]

Kelesuan berpikir dan berijtihad dalam bidang ilmu kalam bukannya hanya datang belakangan ini. Menurut penelitian Muhammad Abid al-Jabiri, hampir selama 400 tahun lebih, yakni dari tahun 150-550 Hijriyah seluruh khazanah intelektual muslim yang tertulis dalam bahasa Arab (kitab kuning), khususnya yang berbasis pada pemikiran kalam selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai pendekatan, metodologi, maupun disiplin.[7] Akibatnya dapat diduga, pendekatan dan pemahaman filosofis terhadap realitas keberagamaan dan realitas keberagamaan Islam khususnya, kurang begitu dikenal dan berkembang dalam alam pemikiran muslim era kontemporer.

Filsafat sebagai metodologi keilmuan setidaknya ditandai dengan tiga ciri, yaitu: 1) pendekatan, kajian atau telaah filsafat selalu terarah kepada pencarian dan perumusan ide-ide atau gagasan yang bersifat mendasar atau fundamental [fundamental ideas] dalam berbagai persoalan; 2) pengenalan dan pendalaman persoalan pada isu-isu fundamental dapat membentuk cara berpikir yang bersifat kritis [critical thought]; 3) kajian dan pendekatan filsafat yang bersifat demikian secara otomatis akan membentuk mentalitas, cara berpikir, dan kepribadian yang mengutamakan kebebasan intelektual [intellectual freedom] sekaligus mempunyai sikap toleran terhadap berbagai pandangan dan kepercayaan yang berbeda serta terbebas dari dogmatisme dan fanatisme.

M. Amin Abdullah memberikan perbandingan logis antara pendekatan kefilsafatan dan kalam/teologi (keagamaan), yaitu: 1) pendekatan kefilsafatan lebih menekankan dimensi keberagamaan yang paling dalam esoteris dan transcendental-abstrak, sedangkan pendekatan teologi dan kalam seringkali lebih menekankan dimensi lahiriah-eksoteris dan final-konkrit; 2) pendekatan kefilsafatan keagamaan lebih menekankan ketenangan dan kedalaman jiwa, sedangkan pendekatan teologi lebih menekankan keramaian (syiar) yang bersifat ekspresif keluar; 3) pendekatan kefilsafatan lebih menggarisbawahi pentingnya comprehension (pemahaman ‘aql), sedangkan pendekatan teologi lebih menekankan transmission (pemindahan, pewarisan atau yang disebut naql); 4) pendekatan kefilsafatan lebih bercorak prophetic-philosophi, sedangkan pendekatan teologi lebih bercorak priestly religion (kependetaan, kebhikuan, kepausan, kekardinalan, keulamaan, kepedandaan, kerabbian dan begitu seterusnya; 5) pendekatan kefilsafatan lebih menekankan dimensi being religious sedangkan pendekatan teologi lebih menekankan dimensi having a religion.

E. Esai M. Amin Abdullah tentang Pola Pikir Akidah

M. Amin Abdullah membagi struktur fundamental pola pikir akidah dalam tiga bagian: 1) pola pikir deduktif[8] sebagai pola pikir yang sangat bergantung pada teks atau nash kitab suci dan teralu gampang menggiring seseorang kepada model berpikir “menghakimi” (justification). Pola berpikir deduktif merupakan pola pikir yang sering dipergunakan oleh ulama terdahulu. Mereka ingin menakar “bumi” dengan menggunakan kekuatan “langit”, sehingga yang terjadi adalah truth claim, rasionalitas menjadi mandeg, rigid, dan tidak elastis; 2) pola pikir induktif yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari realitas empiris-historis yang berubah-ubah kemudian ditangkap oleh indra dan dirasakan oleh pengalaman lalu diabstraksikan dalam bentuk konsep, rumus, gagasan atau dalil yang disusun sendiri oleh akal pikiran. Pola pikir ini juga tidak sepenuhnya bisa digunakan karena menyorot “langit” dengan menggunakan teropong “bumi”, sehingga akan mengarah pada proses dehumanisasi dan sekularisasi tulen; 3) pola pikir abduktif yang lebih menekankan pada the logic of discovery dan bukan the logic of justification. Pola pikir ini menekankan pada unsure hipotesis, interpretasi, dan proses pengujian di lapangan terhadap rumus, konsep, dalil yang dirumuskan oleh pola deduktif dan induktif.

Pola berpikir yang digunakan al-Quran sesungguhnya pola pikir induktif dan sekali waktu bahkan abduktif, seperti asbab al-nuzul dan asbab al-wurud karena didasarkan pada peristiwa-persitiwa sejarah social kemasyarakatan dan sejarah social keagamaan yang terjadi pada saat diturunkannya nash tersebut. Pola pikir histories-induktif bukan berarti mendesakralisasikan makna dan peran ketuhanan, dalam arti Tuhan tidak begitu pantas mencampuri urusan kemanusiaan di dunia.

Pola pikir abduktif serta dialektika deduktif dan induktif pada sisi yang positif inilah yang diinginkan oleh M. Amin Abdullah, yakni bolak-balik antara deduktif dan induktif  yang memungkinkan untuk dikaji ulang dan  diinterpretasi dalam lapangan kehidupan.

F.   Esai M. Amin Abdullah tentang Teks

M. Amin Abdullah mengungkapkan bahwa dalam hal makna dan lafal atau bentuk teks, dikenal tiga macam aliran,[9] yaitu: 1) aliran Monisme berpendapat bahwa antara isi (makna) dengan lafal atau bentuk teks merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tidak ada perbedaan dalam memahami teks karena antara teks dan maknanya adalah sesuatu yang manunggal; 2) aliran Dualisme menyatakan bawa antara isi (makna) dengan lafal atau bentuk teks dapat dipisahkan, masing-masing mempunyai eksistensi, tetapi hubungannya tidak terlalu kompleks; 3) aliran Pluralisme yang mengatakan bahwa hubungan antara isi (makna) dan lafal atau bentuk teks amatlah kompleks. Sebuah teks merupakan konstruksi metafungsional yang terdiri dari makna ideasional, interpersonal, dan tekstual yang kompleks serta hubungannya amatlah kompleks.

Dalam wilayah ini, pemahaman  bentuk teks M. Amin Abdullah menganut aliran Pluralisme, yakni antara teks dan konteks tidak dapat dipisahkan serta sinergisitas keduanya amatlah memungkinkan secara kompleks.

G.  Esai M. Amin Abdullah tentang Normativitas dan Historisitas

M. Amin Abdullah menyatakan bahwa menipisnya nunsa historisitas –untuk tidak menyatakan menghilangnya kesadaran historisitas- pemikiran keislaman menyulitkan pemikir muslim kapanpun dan dimanapun berada untuk berijtihad secara mandiri. Faktor penyebabnya antara lain adalah letak geografis, iklim, musim, tradisi, budaya antara saru wilayah dengan lainnya. Orang muslim Eropa harus berpuasa lebih lama disbanding dengan patokan puasa di Timur Tengah serta daerah ekuator atau katulistiwa; atau kasus lain, warga muslim keturunan Turki, Maroko, Pakistan di Eropa masih menganggap diri berada di wilayah  dar al-Harb meski merka sudah lama bekerja dan berkeluarga di sana. Jika ingin kawin mereka masih mencari sesama warga muslim yang berasal dari keturunan yang sama.

  1. H. Esai M. Amin Abdullah tentang Studi Agama

Dalam bidang studi agama atau History of Religion, M. Amin Abdullah merasakan perlunya pendekatan histories dan kritik histories, seperti yang dilakukan oleh Ignaz Goldziher (1850-1921) yang pertama kali menerapkan pendekatan histories dan kritik histories pada tradisi Islam. Karena kesadarannya tentang sejarah agama pada umumnya, ia dapat menempatkan kesucian para walid an pemujaan terhadap mereka dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya terbatas dalam konteks Islam saja. Kemudian E.A. Westermack (1862-1939) dapat menempatkan Islam Maroko dalam konteks cara dan perilaku keagamaan yang lebih luas di berbagai tempat selain di Maroko. Selanjutnya Louis Masignon (1883-1962) memperhatikan konteks Syria dan Manicheanism pada awal Islam, sedangkan Henry Corbin (1903-1978) memperhatikan latar belakang Zoroaster bagi Islam Persia.

Pendekatan histories juga membuka kemungkinan perbandingan bagi komunitas di luar Islam dan pendekatan fenomenologi agama. Hingga kini, studi perbandingan agama telah membuahkan hasil bagi Islamic Studies dalam bahasa Semit. Hasilnya antara lain: Julius Wellhausen (1844-1918) dan W. Robertson Smith (1846-1894) pengkaji histories-kritis Perjanjian Lama, menyadari akan afinitas antara bahasa Ibrani dan Arab; A.J. Wensinck (1882-1939) menyoroti paralelitas dan unsure structural tertentu yang umum terdapat dalam agama-agama Semit Barat dan Islam, perkembangan  dalam pengikut agama Israel  dan agama Islam awal serta hubungan histories dan sastra antara Islam awal dan Syria.

Hal yang lebih penting bagi Islamic Studies dalam menggunakan sejumlah pendekatan di samping pendekatan histories ada pula pendekatan filologi terhadap sumber-sumber tertulis dan arkeologis dalam konteks yang lebih luas. Misalnya Louis Masignon dalam spiritualitas sufi yang dikajinya telah melampaui filologi dan sejarah; WC. Smith menganalisis Islam modern India dengan melihat kepentingan kelas, baru kemudian sampai pada interpretasi mengenai pemikiran Islam dengan keterlibatan personal yang jelas; W. Montgomery Watt melakukan interpretasi baru terhadap asal usul Islam, sejarah, dan teologi awal dengan menganalisi fenomena keagamaan di dalam struktur sosio-politiknya dengan menggunakan temuan sosiologi  pengetahuan dan interpretasinya tentang pemikiran Islam; Clifford Geertz memulai penelitiannya dari simbol-simbol yang hidup dalam masyarakat muslim, mempelopori studi tentang makna-makna simbolik dalam komunitas Muslim.[10]

Sekaitan dengan hal tersebut, pendekatan fundamental filosofis yang ditawarkan M. Amin Abdullah merupakan cara yang terbaik untuk mencari titik temu dari semua agama-agama. Agama Islam, Nasrani, dan Yahudi memiliki titik singgung karena ketiganya merupakan pengembangan agama Tauhid yang dianut Ibrahim as. Demikian pula dengan agama-agama lainnya di luar samawi pada prinsipnya secara esoteris-transendental memiliki kesamaan tujuan karena sama-sama “mendaki” menuju puncak ke-Ilahi-an yang merupakan puncak pertemuan dari seluruh tujuan keberagamaan.

Pendekatan yang dipergunakan oleh para pengkaji agama dalam Islamic Studies paling tidak ada tiga bentuk: 1) pendekatan parallel mengasumsikan bahwa dalam diri seseorang agamawan terdapat tiga jenis metodologi keilmuan agama sekaligus [doctrinal-normative, cultural histories, dan critis-philosofis], tetapi masing-masing metodologi berdiri sendiri dan tidak saling berdialog atau berkomunikasi; 2) pendekatan linear akan mengasumsikan bahwa salah satu dari ketiga metodologi tersebut; 3) pendekatan sirkuler yang mementingkan adanya hubungan maing-masing pendekatan keilmuan yang digunakan dalam studi agama, menyadari keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang melekat pada dirinya.[11]

 

I.    Kesimpulan

Bahwa M. Amin Abdullah lebih pada menawarkan konsep-konsep metodologis, seperti sejumlah pendekatan, metode-metode, tipologi-tipologi, dan paradigma-paradigma atau pola pikir-pola pikir, yang sebagiannya masih terkesan abstrak. Hal ini sangat logis karena latar belakang keilmuannya sangat kental dengan nunsa filsafat. Namun key words dari semua konsepsi M. Amin Abdullah termuat dalam konsep Normativitas dan Historisitas-nya. Normativitas mengarah kepada teks, nash, atau dalil yang bersifat sacral yang “melangit”, sedangkan Historisitas lebih terarah pada pemahaman manusia terhadap teks, nash, atau dalil yang mengandung unsure “budaya”, bersifat profane yang “membumi”. Hubungan dialektis antara Normativitas atau culture teks dan Historisitas atau culture force selalu terjalin berkelindan.

Secara akademis, cita-cita ideal M. Amin Abdullah untuk membuat format kajian disiplin ilmu Islamic Studies yang metodologis serba meliputi, maka  format Jaring Laba-Laba adalah hal yang niscaya bagi pengembangan ilmu pengetahuan secara luas.

Wallahu a’lam bi al-shawab

 

 

DAFTAR  PUSTAKA

 

 

Abdullah,  M. Amin, “Pengantar,” dalam Ahmad Norma Permata [ed.], Metodologi Studi Agama, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

______, “Kajian Ilmu Kalam,” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo [Ed.], Problem dan Prospek IAIN: Ontologi Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta: Dipertais, 2000.

______, “Kata Pengantar,” dalam Richard C. Martin [Ed.], “Approaches to Islam in Religious Studies,” (Arizona: The University Arizona Press, 1985), diterj. Zakiyuddin Bhaidawi, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, Cet. II; Surakarta: UMS Press, 2002

Arkoun, Muhammad, Al-Fikr al-Islami: Naqd wa Ijtihad, terj. Shalih, Hasim, London: Dar al-Saqi, 1990

Barton, Greg, “The Emergence of Neo-Modernism: A Progressive, Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia: A Textual Study Examinating the Writings of Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid 1968-1980,” diterj. Nanang Tahqiq, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1999.

Fazlurrahman, “Islam: Past Influence and Present Challenge,” dalam Alford T. Welch & Cachia Pierre [ed.], Islam: Challenge and Opportunities, Edinburg: Edinburg University Press, 1979.

______, “Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition” (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982.

Muhammad Abid al-Jabiri, “Bunyah al-‘Aql al-‘Arabiy: Dirasah Tahliliyah Naqdhiyyah li al-Nudzumi fi al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-‘Arabiyyah, (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1990.

Nurgiantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995.

Saeed, Abdullah, “Islamic Banking and Interest: A Study of Riba and Its Contemporery Interpretation,” diterj. Arif Maftuhin, Menyoal Bank Syariah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2004.

Soroush, Abdul Karim, “Reason, Freedom, and Democracy in Islam: Essential Writings of Abdul Karim Soroush,” diterj. Abdullah Ali, Abdul Karim Soroush: Menggugat Ototritas dan Tradisi Agama, Cet. I; Bandung: Mizan, 2002.

Sugiharto,  Bambang, Posmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996

 


[1] Lihat Fazlurrahman, “Islam: Past Influence and Present Challenge,” dalam Alford T. Welch & Cachia Pierre [ed.], Islam: Challenge and Opportunities, (Edinburg: Edinburg University Press, 1979), h. 315-317. Lihat juga Greg Barton, “The Emergence of Neo-Modernism: A Progressive, Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia: A Textual Study Examinating the Writings of Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid 1968-1980,” diterj. Nanang Tahqiq, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1999), h. 9.

[2] Abdul Karim Soroush membagi dua bentuk Revivalis, yakni Revivalis Masa Lalu dan Revivalis Masa Kini. Revivalis Masa Lalu mengabdikan diri pada tugas-tugas memangkas hal yang tidak diperlukan, melumatkan kedok-kedok, menyibakkan tahayul, menghapus bid,ah, membuka kedok para pedagang agama, membersihkan debu dari wajah agama. Mereka bertekad mengungkapkan dan memperkenalkan kembali esensi agama yang sebenarnya. Masuk dalam kategori ini ialah Muhammad al-Ghazali, Faiz Kassani, Jalal al-Din Rumi, Sayyid Mahmud Sabistari, Sayyid Haidar Amuli yang berbicara tentang syariat ritus hukum), tarikat (jalan yang benar) dan hakikat (dimensi batin) agama. Mereka tidak ingin kebenaran agama dikaburkan oleh parade ritus, dan tidak menginginkan agama dibatasi oleh nilai-nilai tampilan luar. Sedangkan Revivalis Masa Kini berupaya untuk memahami dan memelihara pesan abadi agama dalam gelombang perubahan dan pembaruan yang geitu besar. Jika kaum Revivalis Masa Lalu diabdikan pada tugas menyelamatkan agama dari cengkeraman kaum jahiliah dan para penjaja agama, maka Revivalis Masa Kini mencurahkan diri pada perilaku agama yang tepat melalui jalan dunia temporal yang penuh bahaya dan memberikan makna agama yang benar dan relevan di dunia sekuler yang semakin bergolak. Tokoh yang masuk dalam kategori ini adalah Sayyid Jamal Asadi, Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ali Syariati, Ruhullah Khomeini, Murtadha Muthahhari. Lihat Abdul Karim Soroush, “Reason, Freedom, and Democracy in Islam: Essential Writings of Abdul Karim Soroush,” diterj. Abdullah Ali, Abdul Karim Soroush: Menggugat Ototritas dan Tradisi Agama, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2002), h. 35-37.

[3] Abdullah Saeed, “Islamic Banking and Interest: A Study of Riba and Its Contemporery Interpretation,” diterj. Arif Maftuhin, Menyoal Bank Syariah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2004), h. 1-3.

[4] Abdullah Saeed, Op. cit.,h. 4.

[5] Abdullah Saeed, Ibid.,h. 5.

[6] Lihat Fazlurrahman, “Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition” (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982), h. 157-158, dalam M. Amin Abdullah, “Kajian Ilmu Kalam,” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo [Ed.], Problem dan Prospek IAIN: Ontologi Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: Dipertais, 2000), h. 222.

[7] Lihat Muhammad Abid al-Jabiri, “Bunyah al-‘Aql al-‘Arabiy: Dirasah Tahliliyah Naqdhiyyah li al-Nudzumi fi al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-‘Arabiyyah, (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1990), h. 497-498, dalam M. Amin Abdullah, “Kajian Ilmu Kalam,” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo [Ed.], Ibid., h. 223.

[8] Al-Jabiri mengistilahkan pola pikir deduktif dengan pola pikir bayaniyyun, bukan pola pikir irfaniyyun atau burhaniyyun. Pola pikir deduktif ini diadopsi dari pola pikir deduktif Plato yang berpandangan bahwa segala sesuatu berasal dari ide yang telah tertanam secara kodrati dalam diri manusia sejak awal mulanya.

[9] Lihat Burhan Nuurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995), h. 282. Kompleksitas dari segi bahasa, lihat Bambang Sugiharto, Posmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 140. Dalam kaitannya dengan Islamic Studies, Lihat Muhammad Arkoun, Al-Fikr al-Islami: Naqd wa Ijtihad, terj. Dan komentar Hasim Shalih (London: Dar al-Saqi, 1990), h. 201-206. dalam M. Amin Abdullah, “Kajian Ilmu Kalam,” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo [Ed.], Op. cit, h. 229.

[10] Lihat M. Amin Abdullah, “Kata Pengantar,” dalam Richard C. Martin [Ed.], “Approaches to Islam in Religious Studies,” (Arizona: The University Arizona Press, 1985), diterj. Zakiyuddin Bhaidawi, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, (Cet. II; Surakarta: UMS Press, 2002), h. iv-viii.

[11] M. Amin Abdullah, “Pengantar,” dalam Ahmad Norma Permata [ed.], Metodologi Studi Agama, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 9-10.

Ditulis dalam Jurnal. Leave a Comment »

Tinggalkan komentar