AKHLAK DALAM PERSPEKTIF ALQURAN (ED.21 2009)

AKHLAK DALAM PERSPEKTIF ALQURAN

Fatira Wahidah*

Abstrak: Tulisan ini memuat mengenai akhlak dalam perspektif Alquran. Alquran sebagai kitab suci umat Islam sarat dengan tuntunan-tuntunan yang mengatur segala kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, Alquran menekankan begitu pentingnya akhlak, kendati pun kata khuluq dalam artian akhlak hanya disebut satu kali dalam Alquran akan tetapi petunjuk-petunjuk mengenai akhlak telah memenuhi ayat-ayat-Nya.

Alquran juga telah memberi petunjuk bagaimana berakhlak kepada Allah sebagai sang Khaliq yang kalau dipikir-pikir apa butuhnya Allah kepada manusia. Selanjutnya bagaimana berakhlak kepada sesama manusia. Alquran telah mengajarkan akhlak mulai dari cara bertutur kata sampai kepada cara manusia bertindak terhadap sesamanya manusia. Kepada lingkungan pun Allah telah memberi petunjuk bagaimana memperlakukannya secara wajar.

Kata Kunci: akhlak, Alquran

Pendahuluan

Jika kehidupan bangsa Arab di zaman jahiliyah kembali ditilik dalam sejarah masa lalu, tampak bahwa mereka memiliki perangai halus di saat kehidupan mereka dalam keadaan baik dan kemuliaan mereka cukup dan sempurna, kendati pun tidak dapat disangkal bahwa mereka juga pemarah luar biasa serta perampas jika kejahatan mengancam diri atau kabilahnya.[1]

Di saat Islam datang yang dibawa oleh Muhammad saw., Islam tidak menolak setiap kebiasaan yang terpuji yang terdapat pada bangsa Arab, bahkan Islam mengakui hal-hal yang dipandangnya tepat untuk membina umat serta menolak hal-hal yang dianggapnya jelek menurut petunjuk Alquran dan al-Sunnah. Islam datang kepada mereka membawa akhlak yang mulia yang menjadi dasar kebaikan hidup seseorang, keluarga, umat manusia serta seluruh alam. Setelah Alquran turun maka lingkaran pikiran bangsa Arab dalam segi akhlak yang pada mulanya sempit menjadi luas dan berkembang, jelas arah dan sasarannya.

Allah swt. telah mendidik Nabi Muhammad saw. yang juga merupakan pendidikan untuk seluruh umat Islam dengan sebagus-bagus akhlak. Banyak orang memeluk agama Islam karena terpesona dengan akhlak seorang muslim. Suraqah adalah seorang pemuda Quraisy yang hendak membunuh Nabi saw., tetapi justru mengikuti agama Muhammad saw. setelah dimaafkan oleh Nabi saw. Kisah tentang Yahudi dimenangkan oleh Pengadilan atas Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam kasus sengketa baju besi pun semakin menghiasi ketinggian akhlak dalam Islam.

Namun, sejarah emas akhlak muslim tersebut kini seolah pudar. Akhlak sebagian besar kaum muslimin semakin hari semakin memprihatinkan. Di mana-mana terjadi tindak kriminalitas, sadisme semakin merajalela, pornografi dan pornoaksi justru semakin subur di tengah masyarakat.

Kemampuan suatu masyarakat dari suatu bangsa untuk bertahan hidup ditentukan oleh sejauhmana rakyat dari bangsa tersebut menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak. Begitu urgennya akhlak sehingga Rasulullah saw diutus di antara misinya adalah mission moral, membawa umat manusia kepada akhlaq al-karimah. Atau dalam bahasa hadisnya beliau diutus untuk li tatmim al- akhlak.

Para ahli ilmu sosial, sampai sekarang sependapat bahwa kualitas manusia tidak dapat diukur hanya dari keunggulan keilmuan dan keahlian semata, tetapi juga diukur dari kualitas akhlak.[2] Ketinggian ilmu tanpa dibarengi dengan akhlak mulia akan menjadi sesuatu yang sia-sia bahkan ilmu tanpa akhlak dapat membawa kepada kehancuran.

Pengertian Akhlak

Kata akhlak yang sudah di-Indonesiakan berasal dari bahasa Arab yang berbentuk jamak dengan bentuk mufradnya adalah khuluq. Kata khuluq berakar dari huruf-huruf kha’, lam dan qaf yang bermakna dasar taqdīr al-syaiy yaitu menentukan sesuatu. Dinamakan khuluq yang biasa diartikan dengan perangai karena orang yang memiliki perangai tersebut sudah ditentukan (keadaan seperti itu) atasnya.[3]

Menurut al-Ashfahāniy perbedaan antara khalq dengan khuluq, bahwa khalq yang berarti penciptaan atau kejadian adalah keadaan-keadaan, bentuk-bentuk, dan gambaran-gambaran yang dapat diketahui melalui mata kepala (başar). Sedangkan khuluq adalah keadaan-keadaan yang dapat diketahui dengan mata hati atau mata batin (başīrah).[4]

Oleh karena itu, makna khuluq itu dapat dipahami sebagai gambaran batin manusia yang tepat (yaitu jiwa dan sifat-sifatnya), sedangkan khalq merupakan gambaran bentuk luarnya (raut muka, warna kulit, tinggi rendah tubuhnya, dan lain sebagainya).

Adapun hakekat khuluq seperti yang dikemukakan HA Mustafa bahwa kata khuluq mengandung segi-segi persesuaian dengan kata khalq yang berarti penciptaan atau kejadian, serta erat hubungannya dengan khāliq yang berarti Pencipta dan makhluq yang berarti yang diciptakan. Pola bentukan tersebut muncul sebagai mediator yang menjembatani komunikasi antara Khāliq (Pencipta) dengan makhluk (yang diciptakan) secara timbal balik, yang kemudian disebut sebagai habl minallāh. Dari produk habl minallāh yang verbal, biasanya lahirlah pola hubungan antar sesama manusia yang disebut dengan habl min al-nās (pola hubungan antar sesama makhluk).[5]

Keterkaitan antara khuluq dengan khalq, khāliq dan makhlūq tersebut di atas seperti diungkapkan HA Mustafa tersebut cukup logic apabila dihubungkan dengan objek atau sasaran akhlak yaitu hubungan antara khāliq dengan makhlūq sebagai habl minallāh adalah akhlak kepada Allah yang kemudian habl min al-nās adalah akhlak kepada sesama manusia dan bisa juga masuk pada akhlak kepada lingkungan.

Adapun akhlak menurut istilah seperti dikemukaka oleh Imam al-Ghazali adalah sebagai berikut:

الخلق عبارةعن هيئة في النفس راسخة عنها تصدر الأفعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلي فكر ورؤية

Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dulu).[6]

Jika sifat tersebut timbul dari perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji secara akli dan syar’i, maka dinamakanlah akhlak yang baik dan jika ia timbul dari perbuatan-perbuatan yang jelek, maka dinamakanlah akhlak yang buruk. Namun, akhlak bukan ungkapan dari perbuatan sebab adakalanya seseorang yang pada dasarnya dermawan, tetapi dia tidak buktikan dengan perbuatan dikarenakan dia sendiri adalah orang miskin.

Dapat pula dikatakan, perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan. Orang yang dermawan sudah biasa memberi tanpa banyak pertimbangan lagi karena sifat tersebut sudah biasa dia lakukan setiap saat. Akhlak itu haruslah bersifat konstan, spontan, tidak temporer, dan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar.

Dari definisi yang disebutkan di atas dapat ditemukan ciri-ciri akhlak antara lain bahwa akhlak merupakan perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga menjadi kepribadiannya. Selanjutnya, karena perbuatan yang dilakukannya sudah mendarah daging, maka pada saat akan mengerjakannya sudah tidak lagi memerlukan pertimbangan atau pemikiran. Demikian pula bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar yaitu dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan.

Urgensi Akhlak

Al-Rafi’i dalam sebuah karyanya Wahy al-Qalam, seperti dikutip Amru Khālid mengatakan:

Seandainya saya diminta untuk menghimpun kandungan filsafat Islam, maka dua kata cukup untuk mewakilinya, yaitu keteguhan akhlak. Andaikata filosof paling terkemuka di dunia diminta untuk menyusun rumus terapi bagi (jiwa) manusia pasti hanya pada dua kata keteguhan akhlak.[7]

Dalam Alquran hanya ditemukan kata khuluq dan tidak ditemukan kata akhlāq yang berbentuk jamak. Adapun ayat yang di dalamnya terdapat kata khuluq adalah ayat yang terdapat dalam Alquran surah al-Qalam ayat 4 sebagai berikut:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung. (QS. al-Qalam [68]: 4).

Ayat ini dinilai sebagai konsideran pengangkatan Nabi Muhammad menjadi Rasul. Ini pula satu pujian yang paling tinggi yang tidak ada taranya, diberikan Allah kepada Rasul-Nya Muhammad saw. Walaupun secara fisik dan nalurinya sama dengan manusia biasa, tetapi dalam kepribadian dan mentalnya bukanlah seperti manusia pada umumnya, karena Rasulullah diutus Allah untuk menjadi pemandu dan teladan bagi umat manusia seluruhnya.[8]

Akhlak yang mulia dan mendorong manusia untuk berbuat baik kepada manusia dalam pergaulan sehari-hari mereka adalah salah satu tugas Nabi saw. yang paling penting seperti diketahui bahwa Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik. Tugas yang diemban Nabi ini merupakan kedudukan yang paling tinggi. Rasulullah dalam hal ini bersabda:

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ عَنْ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ[9]

Saīd bin Manshūr meriwayatkan kepada kami… dari Abī Huraerah ia berkata Rasulullah saw. bersabda aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.

Jika hadis di atas dicermati dengan baik, dapat dikatakan bahwa tujuan mendasar diutusnya Nabi saw. berkaitan dengan akhlak. Adapun hubungan antara akhlak dan pengutusan Nabi saw. setidaknya dapat dilihat pada surah al-Anbiya’ ayat 107 berikut ini:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS. al-Anbiyā’ [21]: 107).

Tampak ada pertautan yang kuat antara hadis dan pesan ayat di atas bahwasanya tidak akan ada rahmat bagi seluruh alam kecuali dengan akhlak. Namun, muncul sebuah pertanyaan yaitu bukankah ibadah lebih utama dibanding akhlak? Ibadah memang penting akan tetapi tujuan utama setiap ibadah seperti shalat, sedekah, puasa, haji dan sebagainya adalah untuk memperbaiki akhlak. Jika tidak, maka seluruh aktivitas ibadah hanyalah sebatas prima raga. Salah satu contoh yang terdapat dalam Alquran seperti firman Allah swt dalam surat al-Ankabūt ayat 45:

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (Alquran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. al-Ankabūt [29]: 45).

Jika shalat seseorang itu belum mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka shalatnya baru sebatas olah raga. Ia telah shalat, tetapi shalatnya belum memperbaiki akhlaknya.

Demikian pula dalam bersedekah Allah swt. berfirman dalam surat al-Taubah ayat 103:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui QS. al-Taubah [9]: 103).

Ayat di atas dapat dipahami bahwa tujuan zakat adalah untuk membersihkan diri dalam rangka proses perbaikan akhlak. Orang yang bersedekah akan mengetahui kasih sayang dan kemuliaan, karena ibadah itu muaranya ke akhlak. Sedekah mampu mendorong tercapainya akhlak yang luhur. Sedekah yang sebenarnya merupakan implementasi dari akhlak.

Dan yang tak kalah pentingnya dalam ibadah haji. Allah swt. berfirman seperti yang terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 197 berikut:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللّهُ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (QS. al-Baqarah [2]: 197).

Ibadah haji adalah sebuah proses pelatihan yang cukup berat dalam memperbaiki akhlak. Betapa tidak, dalam pelaksanaan ibadah haji sifat-sifat tercela mulai dari sekecil-kecilnya sampai yang sebesar-besarnya sangat dikecam sehingga diwanti-wanti dalam ayat Allah seperti berbicara kasar, mencaci, mencela, berbantah-bantahan, dan menzalimi seseorang. Oleh karena itu, sedapat mungkin larangan-larangan tersebut senantiasa dihindari melainkan hendaknya selalu terangsang dan terpacu untuk memperbaiki akhlak dengan menjauhi larangan-larangan Allah.

Dari paparan di atas menunjukkan bahwa tidak ada pemisahan antara akhlak dan ibadah. Ibadah yang dilaksanakan hendaknya membuahkan akhlak yang mulia.

Allah swt. telah menjuluki umat Islam sebagai umat yang paling baik. Kebaikan ini disebabkan oleh tersedianya sifat-sifat akhlak yang baik yang telah tertanam dalam umat ini. Sifat-sifat akhlak itu, secara umum terlukis dalam surah Āli ‘Imrān ayat 110:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (QS. Āli ‘Imrān [3]: 110).

Tiga sifat-sifat akhlak yang disebutkan pada ayat di atas yaitu keimanan kepada Allah, memerintahkan kepada kebaikan (amar ma’rūf), dan mencegah dari kemungkaran (nahi munkar). Keimanan kepada Allah swt akan mendorong manusia untuk melakukan amal shaleh. Amar ma’rūf adalah cinta kepada manusia. Sedangkan nahi munkar adalah menanggulangi keburukan dan menyempitkan jalan bagi tumbuhnya keburukan dan kejahatan itu. Ini semua adalah puncak akhlak yang baik.

Ali Abdul Halim Mahmud menarik suatu kesimpulan bahwa akhlak yang baik adalah sinonim sifat-sifat keimanan kepada Allah swt., malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, serta qadar baik dan buruk. Demikian pula bahwa akhlak yang baik sinonim dengan amal shaleh dan perbuatan yang baik.[10]

Hal ini berarti, akhlak yang baik adalah sifat individu muslim yang beriman dan beramal shaleh serta melakukan perbuatan yang baik. Alquran ketika berbicara tentang akhlak yang baik, bertujuan agar hal itu dijadikan teladan dan prilaku yang tertanam dalam diri individu muslim. Dan ketika ia berbicara tentang akhlak yang buruk, maka itu ditujukan agar individu muslim menjauhkan dirinya dari akhlak itu, dan memberikan peringatan kepada manusia agar tidak terperosok ke dalamnya.

Akhlak manusia hanya dapat dijamin keluhurannya jika di dalam hatinya terdapat keimanan dan rasa takwa kepada Allah, dan suatu generasi hanya dapat dijamin kejayaannya jika di dalam jiwa mereka terpencar budi yang luhur.[11]

Di dalam hadis Rasulullah  beliau bersabda sebagai berikut:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ خِرَاشٍ الْبَغْدَادِيُّ حَدَّثَنَا حَبَّانُ بْنُ هِلَالٍ حَدَّثَنَا مُبَارَكُ بْنُ فَضَالَةَ حَدَّثَنِي عَبْدُ رَبِّهِ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ[12]

Ahmad bin al-Hasan bin Khirrāsy al-Bagdādiy meriwayatkan kepada kami Habbān bin Hilāl meriwayatkan kepada kami… dari Jābir bahwasanya Rasulullah saw. bersabda sesungguhnya orang yang paling aku senangi dan paling dekat kedudukannya kepadaku di akhirat adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku di akhirat adalah mereka yang paling buruk akhlaknya yaitu orang yang tukang pembual, sombong dan kasar.

Dengan mengetahui akhlak yang baik dan buruk, individu muslim akan dapat menjalankan tugasnya. Dan bertanggung jawab atas akibat seluruh perkataan dan perbuatannya. Dengan tindakannya itu, ia turut serta membangun masyarakat yang beriman dan aman sentosa, serta dapat mewujudkan kehidupan di dunia dan akhirat baginya.

Manusia sebagai khalifah di muka bumi ini dan mempunyai misi al-amr bi al-ma’rūf wa al-nahy an al-munkar, hal ini Allah inginkan suatu kebaikan di dalamnya maka Allah pun tidak mengabaikan akhlak yang lurus itu. Sebab kendatipun pengetahuan manusia sudah begitu maju, demikian pula peradaban yang begitu canggih, itu tidak akan sempurna sekiranya akhlak tidak ada.[13]

Fazlur Rahman berkesimpulan bahwa secara eksplisit dasar ajaran Alquran adalah moral yang memancarkan titik beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial.[14]

Hal tersebut dapat dilihat pada ajaran tentang ibadah yang penuh dengan muatan peningkatan keimanan, ketakwaan yang diwujudkan dalam akhlak yang mulia. Sebab antara keimanan dan ketakwaan dengan akhlak mulia mempunyai keterkaitan yang erat. Dalam  surah al-Baqarah ayat 177:

لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّآئِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُواْ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاء والضَّرَّاء وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَـئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa (QS. al-Baqarah [2]: 177).

Pada ada ayat di atas ditemukan bahwa antara keimanan dan ketakwaan berkaitan dengan akhlak mulia, dan bahwa orang yang beriman itu adalah orang yang senantiasa mengadakan hubungan vertikal dengan Tuhan, mau memberi pertolongan kepada mereka-mereka yang lemah, menepati janji dan bersabar pada saat dalam kesempitan dan penderitaan. Mereka itu pula adalah orang-orang yang menyandang gelar al-muttaqūn

.

Objek Akhlak

1. Akhlak terhadap Allah

Akhlak terhadap Allah merupakan pengakuan terhadap kalimat tauhid lā ilāha illallāh yang menjadi dasar dari segala ajaran Islam bukan sekedar diyakini sebagai kunci segala sesuatu, tidak sekedar untuk diucapkan dengan lidah sebagai buah bibir belaka melainkan dia akan memiliki fungsi riil dan makna signifikan bagi yang mengaplikasikannya dalam kehidupan.

Maknanya adalah bahwa jika kalimat tersebut diucapkan berarti  tidak diperbolehkan sama sekali mengakui adanya Tuhan selain Allah. Di antara kata dan illa atau antara ungkapan negative dan konfirmatif terdapat prinsip fundamental akidah Islam. Kata menunjukkan negasi atas segala bentuk penuhanan terhadap apapun seperti harta kekayaan dan sebagainya.

Kalimat tauhid di atas merupakan sebuah perjanjian, aturan dan falsafah hidup, karena itu ia harus dilaksanakan dan direalisasikan dalam kehidupan.[15] Mewujudkan kalimat tauhid itu merupakan penangkal segala kesulitan dan kunci segala kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Karena itu, mengucapkannya di mulut benar-benar tidak ada artinya jika tidak diikuti keyakinan yang kuat dan realisasi dalam kehidupan nyata. Kalimat itu merupakan prinsip dasar dan falsafah hidup, bukan sekedar rangkaian huruf dan kata.

Di samping mengucapkan kalimat tauhid lā ilāha illallāh, Allah swt. juga mengajarkan kepada manusia agar senantiasa mensucikan-Nya, sebagai Tuhan yang memiliki sifat-sifat terpuji yang begitu agung. Allah berfirman dalam surah al-A’lā ayat 1 yang berbunyi:

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tingi (QS. Al-A’lā [87]: 1)

Allah memerintahkan agar diri-Nya disucikan dan bahkan menurut petunjuk Alquran bahwa bukan hanya manusia saja yang menyucikan-Nya melainkan segala sesuatu pun juga menyucikan-Nya.

Allah berfirman dalam surah al-Isra’ ayat 44:

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ وَلَـكِن لاَّ تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيماً غَفُوراً

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun (QS. al-Isra’ [17]: 44).

Dari ayat tersebut dapat dipahami segala makhluk Allah selain manusia pun senantiasa menyucikan Allah dan memuji-Nya, sehingga alangkah anehnya jika manusia yang dikaruniai akal pikiran tidak mau melakukannya. Malaikat, bahkan sampai kepada guntur saja bertasbih dan memuji Allah swt.

2. Akhlak terhadap Sesama Manusia

Akhlak terhadap sesama manusia inilah kelihatannya yang paling mendapatkan porsi yang lebih besar dalam Alquran. Banyak sekali ayat-ayat yang mejadi dasar untuk mengatur kehidupan manusia megenai bagaimana seharusnya ia bertindak dan bertingkah laku terhadap sesamanya manusia dan sebagainya.

Petunjuk semacam ini adakalanya dalam bentuk perintah dan adakalanya pula dalam bentuk larangan. Hal-hal yang baik tentunya menjadi hal yang diperintahkan dan sebaliknya hal-hal yang buruk menjadi suatu hal yang dilarang. Allah swt. memerintahkan untuk selalu melakukan perbuatan-perbuatan baik mulai dari bagaimana seorang hamba bertutur kata yang baik (QS. Al-Baqarah [2]: 83) sampai kepada tata cara berbuat baik dalam membunuh orang kafir ketika dalam peperangan pun menjadi suatu anjuran (QS. Muhammad [47]: 4).

3. Akhlak terhadap Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Jangankan kepada Allah dan manusia bahkan kepada makhluk lain selain manusia pun mendapatkan tempat dalam akhlak Islam. Allah swt memberi perhatian kepada alam sehingga pengrusakan terhadap alam pun sangat dikecam. Allah berfirman dalam  surah al-A’rāf ayat 56:

وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاً وَطَمَعاً إِنَّ رَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik (QS. al-A’rāf [7]: 56).

Manusia dituntut untuk memiliki tanggung jawab sehingga ia tidak melakukan pengrusakan. Setiap pengrusakan terhadap alam atau lingkungan harus dinilai sebagai pengrusakan pada diri manusia sendiri. Binatang, tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah dan menjadi milik Allah, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya.[16]

Keyakinan seperti ini yang mengantarkan seorang hamba Allah untuk menyadari bahwa semuanya adalah makhluk Allah yang harus diperlakukan secara wajar dan baik. Allah swt. berfirman dalam surah al-An’ām ayat 38:

وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُم ۚ مَّا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan (QS. al-An’ām [6]: 38).

Ditegaskan bahwa binatang melata dan burung-burung pun adalah umat seperti manusia juga sehingga semuanya tidak boleh diperlakukan secara aniaya. Ketika Abdullah bin Umar berjalan di suatu tempat lalu mendapati segerombolan pemuda menangkap seekor ayam lalu mengikatnya dan melemparkannya, Abdullah bin Umar berkata , ‘’Rasulullah melaknat orang yang berbuat seperti itu.[17]

Kisah tersebut sepatutnya senantiasa menjadi teladan untuk selalu menjadi perhatian dengan memberi kasih sayang kepada makhluk Allah, meskipun dia bukan manusia.

Penutup

Persoalan akhlak merupakan suatu hal yang sangat urgen untuk menjadi perhatian sebab ia menjadi pilar utama untuk tumbuh dan berkembangnya peradaban suatu bangsa. Begitu pentingnya akhlak, Nabi Muhammad saw. diutus untuk memperbaiki akhlak, sehingga umat Muhammad mendapatkan penghargaan dari Allah dengan gelar khaira ummah.

Antara ibadah dan akhlak memiliki keterpautan yang tidak dapat dipisahkan sebab tujuan utama setiap ibadah adalah untuk memperbaiki akhlak. Jika ibadah tidak memberi pengaruh dan tidak membuahkan hasil berarti ibadah tersebut hanya sebatas olahraga.

Secara garis besarnya objek atau sasaran akhlak itu ada tiga yaitu akhlak kepada Allah swt., akhlak kepada sesama manusia, dan akhlak kepada lingkungan atau alam. Akhlak kepada Allah sebagaimana disebut-sebut dalam Alquran antara lain mengesakan Allah yaitu berupa pengakuan terhadap kalimat tauhid (Lā Ilāha Illallāh). Namun, realisasinya bukan sekedar untuk diucapkan dengan lidah melainkan harus diaplikasikan dalam kehidupan. Dapat dikatakan bahwa inti agama adalah kalimat tauhid. Segala sesuatu dalam harus berdasarkan dan berpijak pada kalimat tauhid.

Akhlak kepada Allah yang lain yaitu dengan mensucikan-Nya sebagai Tuhan yang memiliki sifat-sifat yang begitu agung. Di samping itu akhlak kepada Allah yaitu dengan memuji-Nya sebagai Tuhan Pencipta segala sesuatu, sehingga pantas untuk dipuji.

Di dalam Alquran segala kehidupan manusia telah diatur yaitu bagaimana selayaknya manusia bertingkah laku terhadap sesamanya manusia yang biasanya berbentuk perintah untuk akhlak yang terpuji dan berbentuk larangan untuk akhlak yang tercela. Dampak dari perintah dan larangan tersebut kembalinya kepada manusia sendiri.

Semua makhluk Allah selain manusia juga adalah ciptaan Allah, sehingga ia juga harus diperlakukan secara baik dan wajar. Sebab mereka-mereka ini kata Allah adalah umat-umat juga seperti manusia. Pengrusakan pada lingkungan atau alam sama dengan pengrusakan pada diri manusia juga.¹

 


*Penulis adalah dosen STAIN Kendari

[1]Yusuf Musa, Falsafah al-Akhlāq al-Islāmiy, (Kairo : t.p., 1963), h. 86.

[2]Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia (Cet. IV; Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 37.

[3]Abi al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariya, Mu’jam al-Māqayīs fī al-Lughah (Cet. I; Beirūt, Lubnān: Dār al-Fikr, 1415 H. /1994 M.), h. 329.

[4]Al-Allāmah al-Rāghib al-Ashfahāniy, Mufradāt Alfāz al-Qur’ān (Cet. I; Damascus: Dār al-Qalam, 1412 H. / 1992 M. ), h. 297.

[5]H.A. Mustofa, Akhlak Tasawwuf (Bandung: Pustaka Setia, 1995), h. 11.

[6]Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Juz III (Baerut: Dār al-Nadwah al-Jadīdah, t.th.), h. 54.

[7]Amru Khālid, Akhlāq al-Mu’min, diterjemahkan oleh Imam Mukhar dengan judul Semulia Akhlak Nabi Saw. (Cet. I; Solo: AQWAM Anggota Serikat Penerbit Islam, 2006), h, 21.

[8]M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Quran ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Cet. VI; Bandung: Mizan, 1998), h. 68.

[9]CD Hadis Mausū’ah, Musnad Ahmad, Kitāb Bāqiy Musnad al-Muksirīn, Bāb Bāqiy Musnad al-Sābiq, No hadis 8595.

[10]Ali Abd Halim Mahmud, Fiqh al-Mas’ūliyyah fī al-Islām, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani dengan judul Fikih Responsibilitas Tanggung Jawab Muslim dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 89.

[11]Muhammad Tholhah Hasan, op.cit., h. 15.

[12]CD Hadis Mausû’ah, Sunan al-Tirmizi, Kitāb al-Birr wa al-Silah ‘an Rasūlillāh, Bāb Mā Jāa fī Ma’āliy al-Akhlāq, No. Hadis 1941.

[13]As’ad al-Sahmarāni, al-Akhlāq fi al-Islām wa al-Falsafah al-Qadîmah (Cet. II; Baerūt : Dār al-Nafāis, 1414 H./1994 M.), h. 99.

[14]Fazlur Rahman, Islam, diterjemahkan oleh Senoaji Saleh dengan judul Islam, (Cet. I; Yakarta: Bina Aksara, 1987), h. 49.

[15]Mustafa Mahmud, Hiwār Ma’a Shadīqīy al-Mulhid, diterjemahkan oleh A. Maimun Syamsudin dengan judul Dialog dengan Atheis (Cet. II; Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), h. 193.

[16]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. XVI; Bandung : PT Mizan Pustaka, 2005), h. 270.

[17]Amru Khalid, op. cit., h. 270.

Burا `ÏB 7p­/!#yŠ ’Îû ÇÚö‘F{$# Ÿwur 9ŽÈµ¯»sÛ çŽÏÜtƒ Ïmø‹ym$oYpg¿2 HwÎ) íNtBé& Nä3ä9$sVøBr& 4 $¨B $uZôÛ§sù ’Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4 ¢OèO 4’n<Î) öNÍkÍh5u‘ šcrçŽ|³øtä†
Ditulis dalam Jurnal. Leave a Comment »

Tinggalkan komentar